Berita PUSKESAD
"Selalu Kompak dan Patuh"




Telah dipublikasikan sebelumnya oleh: http://medan.tribunnews.com. Di tengah simpang siur informasi kelaparan dan
wabah campak di Kabupaten Asmat, Papua, yang menyebabkan 71 anak meninggal
dunia dan ratusan lainnya masih dirawat, BBC Indonesia menerjunkan
jurnalisnya ke lapangan.
Wartawan
BBC Indonesia, Heyder Affan, saat ini tengah berada di Kabupaten Asmat untuk
melaporkan krisis pangan dan kesehatan di daerah tersebut.
Akibat minimnya informasi, kasus ini dikerap
diputarbalikkan pihak tertentu untuk menyudutkan Pemerintahan Jokowi.
BBC
Indonesia menerima beberapa pertanyaan dari pembaca tentang apa yang kini
tengah terjadi di Asmat.
Limapertanyaan yang sering diajukan dan berikut ini
adalah jawabannya.
Bagaimana
sebenarnya situasi wabah campak dan gizi buruk di sana?
Krisis kesehatan berupa gizi buruk dan campak di Kabupaten Asmat, Provinsi
Papua, telah menyebabkan 71 anak meninggal dunia dan sedikitnya 800 orang
dirawat di rumah sakit.
Berdasar laporan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan,
anak-anak yang terserang campak dan gizi buruk di kabupaten tersebut masih dapat
dijumpai di Rumah Sakit Umum Daerah (RUD) Agats, Rabu (31/01) dini hari.
"Gizi buruk ada 21 pasien, campaknya ada lima
pasien," ungkap Richard Rumbino, pimpinan RSUD Agats, satu-satunya rumah
sakit di wilayah Asmat.
Dari
71 anak yang meninggal dunia, 66 di antara mereka meninggal karena penyakit
campak dan lima anak meninggal dunia karena gizi buruk.
Adapun wilayah yang paling banyak jatuh korban adalah
Distrik Pulau Tiga, yang mencapai 37 jiwa.
Uskup
Aloysius Murwito dari keuskupan Agats-Asmat menceritakan pengalamannya
berhadapan dengan anak-anak dengan kondisi minim gizi di wilayah tersebut.
Tim keuskupan Agats menemukan situasi ini saat kegiatan pelayanan Natal pada 2017 di Kampung As dan Kampung Atat, Distrik Pulau Tiga.
Menurutnya, kondisi anak-anak sangat
memprihatikan dengan kondisi fisik yang sangat kurus.
"Di
kampung As (dan) Atat saya menyaksikan anak-anak yang kurang gizi banyak,
kurus-kurus," tambahnya.
Data Kementerian Sosial menunjukkan kejadian luar biasa
seperti ini sudah keenam kalinya terjadi di Kabupaten Asmat namun yang terbaru
merupakan yang paling parah.
Apa
penyebab gizi buruk dan wabah campak?
Ketika
krisis kesehatan gizi buruk dan campak di Asmat ini menjadi sorotan media,
kondisi geografis wilayahnya—yang didominasi rawa berlumpur dan sungai-sungai dianggap
sebagai salah satu pemicu utama kasus tersebut.
Kondisi
ini diperparah harga bahan bakar minyak (BBM) yang relatif lebih mahal akibat
suplai BBM yang tidak lancar di wilayah itu.
Tentu saja, persoalan di balik krisis kesehatan tersebut
tak melulu soal geografis.
Theresia,
yang anaknya dirawat di RSUD Agats karena kurang gizi, mengaku mengonsumsi air
sungai untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari.
Di
Distrik Fayt, tempatnya bermukim, sebanyak 14 warga setempat meninggal akibat
gizi buruk dan campak sejak September 2017.
"Airnya tidak dimasak, kami
biasa minum langsung (dari sungai)," ungkap Theresia kepada BBC Indonesia.
Theresia mengaku tidak memiliki
jamban yang layak. "Kami buang air besar dan kecil di dekat rumah."
Di ibu kota Asmat, Agats, sebagian warganya juga tidak
memiliki jamban keluarga.
Kenyataan
seperti ini tidak dipungkiri otoritas kesehatan di Kabupaten Asmat, tetapi
tidak mudah bagi mereka untuk menghilangkan kebiasaan seperti itu.
"Hanya bisa sedikit-sedikit mengubah perilaku
mereka," ungkap pimpinan utama RSUD, Richard Rumbino.
Sementara,
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Elizabeth
Jane Soepardi, mengakui imunisasi yang belum optimal diperkirakan menjadi
penyebab cepat merebaknya wabah campak di wilayah paling timur Indonesia
tersebut.
"SDM-nya
masih sangat kurang di sana. Sehingga karena SDM sangat kurang, akibatnya
kegiatannya menjadi tidak rutin itu yang menyebabkan ada penumpukan anak-anak
yang tidak diimunisasi. Satu kasus saja masuk, langsung menyebar," tutur
Jane.
Bagaimana akses masyarakat terhadap layanan kesehatan?
Kabupaten
Asmat terdiri dari sembilan distrik (setingkat kecamatan) dan lebih dari 100
kampung. Luas kabupaten itu mencapai 29.000 kilometer persegi atau 48 kali luas
DKI Jakarta.
Kondisi
geografis yang sulit juga diangkat oleh Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, yang
sudah berkunjung langsung ke Agats, Kabupaten Asmat, bersama Menteri Sosial
Idrus Marham.
"Jangkauan
ke pusat pengobatan sangat sulit karena masyarakat harus menggunakan jalur laut
dan sungai," kata Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, usai mengunjungi pasien
campak dan gizi buruk di Asmat, Kamis (25/01) lalu.
Menurut
Nila, warga di sana tinggal di rumah di atas kawasan rawa-rawa yang kalau
pasang naik akan membawa kotoran, "Air bersih dan listrik juga tidak
ada."
Menteri Nila menambahkan infrastruktur kesehatan dan
lainnya di sana juga tidak memadai. Bahkan, "rumah sakit yang ada juga
tidak layak disebut sebagai rumah sakit."
Satu-satunya
rumah sakit di Kabupaten Asmat yang disebut tidak layak oleh Menteri Kesehatan
Nina Moeloek
Hal
ini diakui oleh Uskup Agats-Asmat Aloysius Murwito. Dia menyebut akses
transportasi menuju dan di dalam Asmat sangat buruk. Kampung terjauh dari
Agats, ibu kota Asmat, berjarak tujuh jam perjalanan laut menggunakan perahu
mesin.
"Kampung-kampung
itu tidak memiliki fasilitas listrik atau air yang memadai, alat komunikasi pun
tidak ada.
"Di
tempat seperti itu fasilitas dasar sungguh rendah, terutama kesehatan dan
pendidikan," ujar Aloysius.
Kepala
Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, Steven Langi, mengakui
medan yang sulit dan minimnya tenaga medis menjadi hambatan bagi tim penanganan
wabah campak dan gizi buruk dan sekaligus pula membuat kesulitan dalam
memprediksi timbulnya wabah campak dan gizi buruk.
"Wilayah
seperti Pulau Tiga itu sudah sangat minim personel," kata dia.
Distrik Pulau Tiga merupakan tempat pertama ditemukannya
korban jiwa akibat gizi buruk dan campak.
Bagaimana
peran pemerintah daerah? Apakah penyelenggara pemerintah daerah kompeten untuk
melakukan otonomi daerah?
Anak-anak
di Asmat kekurangan gizi, meski anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
kabupaten itu mencapai lebih dari Rp1 triliun pada 2017 dan mendapat jatah
sekitar Rp106 miliar dari dana otonomi khusus Papua.
Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut Pemkab Asmat menganggarkan 10% APBD 2017
untuk kesehatan, sesuai anjuran pemerintah pusat.
Tjahjo mengatakan kementeriannya tengah menginvestigasi
hubungan sebab-akibat dalam alokasi anggaran dan krisis gizi di Asmat.
Walau
mengelola anggaran triliunan rupiah, Gubernur Papua Lukas Enembe menyebut
masyarakat di sejumlah kabupaten dan kota tidak mendapatkan fasilitas dasar
memadai, salah satunya di sektor kesehatan.
"Sudah
terjadi bertahun-tahun dan di mana-mana di Papua. Jangankan Asmat, tempat asal
saya (Tolikara), daerahnya masih terbelakang. Ini bukan hal baru," kata
Enembe di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/01) lalu.
Dosen
Ilmu Politik Universitas Cendrawasih, Marinus Yaung, menilai penggunaan APBD di
Papua tidak efektif dan tidak tepat sasaran karena persaingan politik pada
pemilihan kepala daerah tidak berkesudahan.
Dalam
penelitiannya di beberapa kabupaten, kata Marinus, kepala daerah terpilih
membatasi atau menghapus anggaran pelayanan publik, termasuk kesehatan, untuk
daerah atau kelompok masyarakat yang menjadi basis lawan politik.
Bagaimana
respons pemerintah dan menteri kesehatan tentang kejadian ini?
Lantaran
puluhan nyawa melayang akibat campak dan gizi buruk, Presiden Joko Widodo
menginstruksikan agar warga Asmat di pedalaman -yang rawan dari penyakit campak
dan gizik buruk- direlokasi ke wilayah yang lebih mudah dijangkau unit
pelayanan kesehatan.
"Jadi
(penduduk) desa-desa direlokasi ke kota (Agats, ibu kota Kabupaten
Asmat)," ujar Jokowi di sela kunjungan kerja di Palembang, Senin (22/01).
Namun
ide relokasi ini langsung ditolak oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe dan Bupati
Kabupaten Asmat, Elisa Kambu. Mereka menyampaikannya saat bertemu Presiden
Jokowi di Istana Bogor, Selasa (23/01) malam.
"Memindahkan
orang tidak segampang itu karena terkait budaya, adat istiadat, hak ulayat dan
bagaimana mereka menanam dan sebagainya," tegas Elisa Kambu.
Menteri
Sosial, Idrus Marham, mengakui pemerintah Indonesia menghadapi kesulitan dalam
menangani bencana gizi buruk atau busung lapar yang melanda Kabupaten Asmat.
Alasannya
adalah kondisi alam dan minimnya infrastruktur.
"Daerah ini memang terisolasi. Harus dipangkas dulu
isolasinya," kata Idrus dalam acara diskusi di Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Senin (29/01).
Menteri
Kesehatan Nila Moeloek mengatakan bahwa penanganan gizi buruk dan busung lapar
tidak gampang dan butuh waktu lama berhubung pasien tidak bisa langsung diberi
makan karena akan dimakan cacing di perut.
"Yang
pertama dilakukan adalah membasmi cacing dalam perut dulu," kata Nila.
"Setelah itu, baru dikasih asupan makanan."
Menurut
Nila, saat ini ada 177 tenaga kesehatan di Asmat yang membantu menangani kasus
tersebut, bergabung dengan tim dari Kementerian Sosial dan TNI.
Deputi II Kantor Staf Presiden, Yanuar Nugroho, mengatakan
perlu solusi jangka panjang terkait kejadian luar biasa kelaparan di Asmat,
antara lain dengan program pendampingan terhadap aparat pemerintahan di Papua.
"Persoalannya
ada di pemerintah daerah," tudingnya.
Sementara
untuk jangka pendek, menurut Yanuar, yang perlu dilakukan hingga Februari 2018
adalah bagaimana agar korban tidak bertambah. "Asmat adalah wake up call
bagi kita semua."
Yanuar
memaparkan ada beberapa daerah lain di Papua yang terancam bencana serupa
karena Asmat lebih merupakan fenomena puncak gunung es.
Beberapa
wilayah lain yang berpotensi mengalami hal serupa adalah Tolikara, Nduga, Intan
Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, dan Dogiyai.
Ada lebih dari 44.000
orang komunitas adat terpencil di pedalaman Papua yang membutuhkan perhatian
lebih dan yang ditangani Kemensos baru sekitar 2%.
(Yamin Muhammad/Afp)
Artikel
ini sudah tayang di bbc indonesia berjudul: Lima hal yang perlu Anda
ketahui tentang wabah campak dan gizi buruk di Asmat